Kamis, 17 Februari 2011

Kemiskinan Memaksa Ibu Memasung Sang Putra




Oleh: Sarifuddin Siregar
Tak seorang pun manusia sudi bersahabat dengan kemiskinan. Masing-masing person di bumi memasang ragam strategi agar momok itu lepas jauh. Kerja keras, semangat, optimisme serta dibantu kemampuan berkomunikasi membuat sebagian orang meraih sukses. Namun, peliknya persoalan serta terbatasnya jaringan interaksi, justru membuat sejumlah penduduk malah terpeluk erat oleh problema kemiskinan tersebut. Air mata pilu dan doa tak kunjung dijawab ceria. Kian hari, gumulan tak terelak hingga warga nekad melanggar norma agama dan kemanusiaan. Sesungguhnya, mereka sadar bila tindakan itu tidak boleh dilakukan. Tetapi ketika solusi terasa gelap, mau dibilang apa? Teori tak semudah realita.
Boleh jadi, demikianlah rasa penat yang membelenggu seorang janda di Kelurahan Sidikalang Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi. Sebut saja nama sang ibu Marsitta. Dengan beberapa pertimbangan, jati diri dan lokasi terpaksa kurang vulgar dipublikasikan guna menghindarkan kemungkinan ekses terhadap keluarga korban.
Tanpa kebohongan, Marsitta memaparkan beratnya beban yang ditanggung atas penyakit yang mendera putranya, Holong (nama samaran, 40). Kepada anggota fraksi partai Golkar DPRD Sumut, Richard Eddy Lingga SE, ia tulus menyebut sudah dua tahun memasung Holong dengan cara mengikatkan rante besi ke kaki dan tangan si buah hati. Jalan terasa buntu kala suatu hari, ia menerima bogeman di pipi dari pria yang dilahirkannya. Sejak saat itu, perempuan ini trauma bila anaknya kambuh.
“Dua tahun lalu mulai parah. Pipiku dipukul. Aku dan anak-anak pun jadi takut. Jadi, kuputuskan tidak akan pulang ke rumah kalau tidak dapat posisi terikat” kenang Marsitta mengusap air mata mengawali cerita. Begitu pun, dibenarkan sesekali putranya sadar akan perbuatan. Namun spontan kemudian bisa-bisa ngamuk.
Sebelumnya, ia sudah sering membawa Holong berobat termasuk ke RSJ (rumah sakit jiwa) di Medan. Hasilnya tidak memuaskan. Korban malah memilih kabur menumpang minibus pulang menuju Sidikalang. Alasannya, kamar jorok dan banyak kutu busuk. Itu pula membuat sang bunda menerima. Sekali seminggu, penderita dibawa ke Medan untuk check sembari ambil obat. Holong juga sempat mau gereja. Kondisi itu membikin ibu mulai bangga. Sepertinya, ada pencapaian. Sayang, kesejukan tidak berlangsung lama. Putranya mulai menenguk alkohol hingga mabuk. Pikiran kurang normal. Itu, berujung pada kekerasan terhadap ibu.
Seakan menyesal, sang putra tidak melawan atas pengenaan rante itu. Dia terima saja hukuman. Hanya saja, bila kambuh, protes dibuat dengan langkah lain. Korban memukul kening dan kedua pipi sekuat tenaga. Kini, wajahnya berubah lembam. Bahkan, ketika Richard mengajak komunikasi, ia menutup diri mempertahankan selimut menutup badan.
“Jangan…jangan…jangan” ujarnya kepada ibu yang memintanya duduk berbicara. Karena kesal, kepalan tangan ditamparkan ke pipi sendiri. Dia pun diisolasi di sebuah kamar di bawah rumah tua bukan miliknya. Semua harta sudah tergadai. Tak ada lagi tanah yang mau dijual. Segalanya sudah kulepas. Yah… aku hanya berharap, Tuhan mencatat pengorbananku sebagai bekal masuk sorga, kata Marsitta, menambahkan, suami telah lama berpulang setelah sakit bertahun-tahun. Keganasan itu, diamini putri. Semasa remaja, lelaki itu tergolong pendiam dan kurang pandai bergaul.
Richard mengutarakan, akan berjuang melalui pendekatan kepada manajemen RSJ Medan agar diberi perlakuan khusus. Dia optimis, korban sembuh. Tahun kemarin, pria asal Desa Bintang Hulu Kecamatan Sidikalang berhasil pulih pasca perawatan intensif.
“Apa yang saya perbuat untuk rakyat, kiranya juga dicatat Tuhan. Mari sama-sama berbuat kebaikan memuliakan Tuhan. Dia akan membalas berlipat ganda” ujar Richard, Sabtu (5/2) berobsesi melanjutkan amanah rakyat di DPRD Sumut periode mendatang.
Oleh: Sarifuddin Siregar
Tak seorang pun manusia sudi bersahabat dengan kemiskinan. Masing-masing person di bumi memasang ragam strategi agar momok itu lepas jauh. Kerja keras, semangat, optimisme serta dibantu kemampuan berkomunikasi membuat sebagian orang meraih sukses. Namun, peliknya persoalan serta terbatasnya jaringan interaksi, justru membuat sejumlah penduduk malah terpeluk erat oleh problema kemiskinan tersebut. Air mata pilu dan doa tak kunjung dijawab ceria. Kian hari, gumulan tak terelak hingga warga nekad melanggar norma agama dan kemanusiaan. Sesungguhnya, mereka sadar bila tindakan itu tidak boleh dilakukan. Tetapi ketika solusi terasa gelap, mau dibilang apa? Teori tak semudah realita.
Boleh jadi, demikianlah rasa penat yang membelenggu seorang janda di Kelurahan Sidikalang Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi. Sebut saja nama sang ibu Marsitta. Dengan beberapa pertimbangan, jati diri dan lokasi terpaksa kurang vulgar dipublikasikan guna menghindarkan kemungkinan ekses terhadap keluarga korban.
Tanpa kebohongan, Marsitta memaparkan beratnya beban yang ditanggung atas penyakit yang mendera putranya, Holong (nama samaran, 40). Kepada anggota fraksi partai Golkar DPRD Sumut, Richard Eddy Lingga SE, ia tulus menyebut sudah dua tahun memasung Holong dengan cara mengikatkan rante besi ke kaki dan tangan si buah hati. Jalan terasa buntu kala suatu hari, ia menerima bogeman di pipi dari pria yang dilahirkannya. Sejak saat itu, perempuan ini trauma bila anaknya kambuh.
“Dua tahun lalu mulai parah. Pipiku dipukul. Aku dan anak-anak pun jadi takut. Jadi, kuputuskan tidak akan pulang ke rumah kalau tidak dapat posisi terikat” kenang Marsitta mengusap air mata mengawali cerita. Begitu pun, dibenarkan sesekali putranya sadar akan perbuatan. Namun spontan kemudian bisa-bisa ngamuk.
Sebelumnya, ia sudah sering membawa Holong berobat termasuk ke RSJ (rumah sakit jiwa) di Medan. Hasilnya tidak memuaskan. Korban malah memilih kabur menumpang minibus pulang menuju Sidikalang. Alasannya, kamar jorok dan banyak kutu busuk. Itu pula membuat sang bunda menerima. Sekali seminggu, penderita dibawa ke Medan untuk check sembari ambil obat. Holong juga sempat mau gereja. Kondisi itu membikin ibu mulai bangga. Sepertinya, ada pencapaian. Sayang, kesejukan tidak berlangsung lama. Putranya mulai menenguk alkohol hingga mabuk. Pikiran kurang normal. Itu, berujung pada kekerasan terhadap ibu.
Seakan menyesal, sang putra tidak melawan atas pengenaan rante itu. Dia terima saja hukuman. Hanya saja, bila kambuh, protes dibuat dengan langkah lain. Korban memukul kening dan kedua pipi sekuat tenaga. Kini, wajahnya berubah lembam. Bahkan, ketika Richard mengajak komunikasi, ia menutup diri mempertahankan selimut menutup badan.
“Jangan…jangan…jangan” ujarnya kepada ibu yang memintanya duduk berbicara. Karena kesal, kepalan tangan ditamparkan ke pipi sendiri. Dia pun diisolasi di sebuah kamar di bawah rumah tua bukan miliknya. Semua harta sudah tergadai. Tak ada lagi tanah yang mau dijual. Segalanya sudah kulepas. Yah… aku hanya berharap, Tuhan mencatat pengorbananku sebagai bekal masuk sorga, kata Marsitta, menambahkan, suami telah lama berpulang setelah sakit bertahun-tahun. Keganasan itu, diamini putri. Semasa remaja, lelaki itu tergolong pendiam dan kurang pandai bergaul.
Richard mengutarakan, akan berjuang melalui pendekatan kepada manajemen RSJ Medan agar diberi perlakuan khusus. Dia optimis, korban sembuh. Tahun kemarin, pria asal Desa Bintang Hulu Kecamatan Sidikalang berhasil pulih pasca perawatan intensif.
“Apa yang saya perbuat untuk rakyat, kiranya juga dicatat Tuhan. Mari sama-sama berbuat kebaikan memuliakan Tuhan. Dia akan membalas berlipat ganda” ujar Richard, Sabtu (5/2) berobsesi melanjutkan amanah rakyat di DPRD Sumut periode mendatang.


Disiarkan Hr Analisa Senin tgl 7/2/2011


http://www.analisadaily.com