Minggu, 30 Januari 2011

Pakpak Bharat Back to Nature







PDF Cetak Email
Oleh : Sarifuddin Siregar

Cuaca di pagi hari tepatnya, Kamis (9/12) terasa indah. Mentari muncul menampakkan diri mencurahkan cahaya penuh berkat. Langit hadir perlahan cerah hingga tampil bersih membiru. Hijauan dedaunan dan hutan bernyanyi melantunkan syair ceria mengamini keselarasan terhadap penghuni.

Suasana hati terasa nyaman dan bersahabat. Demikian sekilas pandang petikan kata demi kata kala duduk sejenak mengamati sekeliling lapangan Napasengkut, sebuah stadion berkonstruksi sederhana di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat.

Sejumlah warga dari penjuru desa mengarahkan perhatian ke sana. Rombongan dari delapan kecamatan wilayah otonom itu melangkah rileks menjingjing hasil bumi, sinyal bahwa kesejahteraan terbuka lebar. Ayam kampung, jeruk manis, cabe, kelapa, coklat, padi, petai, durian, kepala sawit dan karet adalah beberapa sampel komoditas yang diusung dari tempat tinggal masing-masing. Itu juga gambaran bahwa ragam vegetasi tumbuh subur. Irama musik tradisional Pakpak diarahkan menyambut setiap delegasi yang tiba. Ruang terbuka tersebutpun kian mempesona seiring tampilan kemeja dan gaun warna hitam seluruh pengunjung -- simbol etnis lokal ini. Di sana, mereka membaur memperkokoh kekerabatan.

Ada apa gerangan? Ternyata mereka sangat merindukan gelar doa bersama sebagaimana dilakukan para nenek moyang terdahulu. "Sodip" begitu nama istilah Pakpak diperkenalkan. Ketika masyarakat hidup dalam keterbatasan informasi dan teknologi, penyerahan diri kepada Sang Pencipta sebelum menjalankan aktivitas merupakan kewajiban. Kala itu, setiap insan percaya, raihan limpahan hasil panen bukanlah karena kekuatan semata. Justru sebaliknya diperoleh karena kuasaNya.

Dan, Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat bertekad menanamkan kembali nilai luhur itu dengan menguatkan budaya dipadu agama. Ini upaya membentengi diri dan generasi muda dari ekses perubahan zaman sekaligus memperkokoh jiwa dari assimilasi budaya asing.

Adat budaya Pakpak memang unik. Namun, keunikan itu sekaligus menjadi pondasi bahwa konsep pelayanan tidak sebatas retorika. Bila lazimnya tuan-tuan penguasa dan hartawan diberi kursi empuk pada hampir setiap upacara, justru di sini mereka duduk setara bahkan melayani warga dan tamu. Dalam rumpun etnis Pakpak, prosesi adat mengenal tiga posisi yakni berru, kula-kula dan kesukuten.

Ibarat sebuah sebuah pesta, berru tersebut identik dengan kaum ibu atau pria dari keluarga pihak perempuan yang bertugas melayani undangan (bukan konotasi negatif-red).

Sehubungan itu, mereka berkewajiban mengurus segala sesuatu utamanya persiapan demi suksesnya acara. Sementara itu, rakyat berposisi sebagai kesukuten atau tuan rumah. Dalam suatu hajatan, mereka ibarat raja sehari berhadapan dengan para tamu. Seterusnya, kaum ulama atau rohaniawan serta tokoh adat adalah kula-kula atau tamu terhormat.

Pelayan

Memegang teguh nilai budaya dimaksud, Bupati Ir Remigo Yolando Berutu MBA dan nyonya, Wakil Bupati Ir Maju Elyas Padang, Kepala Kejaksaan Negeri Sidikalang Pendi Sijabat SH, Kapolres AKBP Suriadi Bahar dan Komandan Kodim 0206/D diwakili Kepala Staf Kodim Mayor Inf AS Marpaung duduk bersama di atas sehelai tikar. Tiada kesan sungkan atas posisi duduk mengikuti agenda itu.

Di sini, pakaian kebesaran bercorak hitam mereka kenakan serupa dengan hadirin. Ketika diminta, para pejabat ini beranjak menjamu kesukuten dimana Remigo berdiri di barisan terdepan. Sebuah pagelaran yang kian redup di tengah tekanan arus informasi.

Di sisi lain, sebagai pelayan, tertengok Remigo memberi atensi agar seluruh peserta mendapat menu. Tak heran, ia sedikit sibuk meninjau seksi konsumsi untuk memastikan bahwa semuanya dapat makanan.

Pada puncak acara, masing-masing ulama diberi kesempatan memanjatkan doa. Utusan agama Kristen Protestan, Katolik serta Islam secara bergantian mengucap syukur dan memohon restu agar kiranya daerah ini beroleh sejahtera berikut pemerintahan yang baik. "Petutupen tataring" demikian istilah local pada upacara doa melibatkan pemerintah, masyarakat dan ulama.

Drs MT Banurea mantan Ketua DPRD Dairi dari unsur tokoh masyarakat menyambut baik kepedulian pemerintah daerah. Hal sedemikian penting untuk memperkokoh adat budaya. Dahulu kala, semua penduduk terlebih dahulu berdoa bila hendak menjalankan aktivitas. Namun, tradisi itu kian redup. Pakpak Bharat adalah benteng terakhir mempertahankan eksistensi budaya Pakpak. Ragam kekayaan perlu digali demi memperkokoh peradaban. Hal senada disampaikan Ketua DPRD, Ir Agustinus Manik.

Ir Remigo Yolando Berutu MBA mengutarakan, acara tersebut bukan bermaksud seremonial. Dia punya komitmen, bahwa pemerintahan mesti dibangun di atas budaya dan agama. Kedua unsur tersebut sangat strategis untuk memperoleh keberhasilan. Ia ingin memperkuat eksistensi budaya Pakpak termasuk memperkenalkan ke kancah nasional.

Selain tarian, lagu dan alat musik, etnis Pakpak juga punya kekayaan lain termasuk olah raga identik pencak silat yang dinamai "tatak moccak". Benda sejarah berupa mejan banyak di wilayah ini membuktikan bahwa dulunya warga Pakpak merupakan perhatian dunia.

Ikut serta dalam penguasaan arus informasi dan teknologi memang suatu keharusan. Tetapi, back to nature dengan memperkokoh identitas serta nilai agama adalah kewajiban. Tradisi adalah added value-nya Bangsa Indonesia yang mendapat pengakuan dunia melalui Bhineka Tunggal Ika.

Dia menekankan, agenda itu menjadi entry point agar ke depan semua komponen bergandeng tangan memajukan daerah ini. Perlu satu bahasa. Kemudian, aparat pemerintah mesti menyadari bahwa keberadaannya adalah untuk melayani masyarakat. Jadi, beri kemudahan dibarengi etika.

Kepada wartawan, dijelaskan, konteks pemerintah sebagai pelayan sangat ideal dengan peradaban Pakpak. Pemkab perlu bekerja keras mengangkat kehidupan rakyat. Di awal kepemimpinannya, ia mengkonkritisasi kegiatan berupa realisasi penanaman jeruk manis seluas 50 hektar bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) di pos Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.

Pihaknya memberi motivasi agar tiga atau empat tahun berikut tanaman usaha agribisnis itu berkembang menghasilkan uang.


Artikel ini telah disiarkan di Harian Analisa-Medan,Sumatera Utara